Ada Yang Asik - Cerita Sex Dewasa Asik - Kisah Mesum Dokter Shinta. Yuk kita simak Cerita Jorok yang satu ini!
Shinta adalah seorang dokter muda. Dia baru saja menamatkan pendidikannya pada sebuah universitas ternama di Sumatera. Selain kecerdasannya yang mengantarkan dirinya meraih gelar dokter. Shinta juga merupakan gambaran profil generasi muda masa kini. Disamping sebagai gadis yang sangat cantik, Shinta yang berusia 24 tahun ini juga lincah dan intelek dan dikenal oleh teman-temannya sebagai gadis yang cinta lingkungan dan masalah sosial budaya. Dia sangat senang dengan petualangan alam. Selama 2 tahun terakhir di kampusnya Shinta dipercaya teman-temannya menjadi Ketua Group Pecinta Alam. Sangat kontras memang. Dilihat dari penampilan fisiknya yang demikian cantik dan lembut Shinta adalah ahli bela diri Kung Fu pemegang sabuk hitam.
Disamping itu dia juga sebagai pemanjat tebing yang handal dan juga beberapa kali telah mengikuti kegiatan arung jeram dengan menelusuri sungai-sungai ganas di seputar Sumatera. Sebagaimana dokter baru ia harus menjalani masa PTT pada sebuah desa yang jauh dari tempat tinggalnya. Reaksi orang tuanya dalam hal ini ibunya dan Rudi tunangannya adalah sangat keberatan saat mendengar bahwa dia harus bertugas di desa terpencil itu. Ibu Shinta sangat menyayangi Shinta. Beliaulah yang terus mendorong sekolah Shinta hingga lulus menjadi dokter. Orang tua Shinta cerai saat Shinta masih kecil. Sampai tamat dokter Shinta mengikuti ibunya. Shinta tak pernah kenal dan tahu bagaimana dan dimana ayahnya sekarang. Selain jauh dari kotanya daerah itu masih sangat terbelakang dan terisolir. Bayangkan, untuk mencapai daerah itu orang harus seharian naik bus antar kota, kemudian disambung dengan ojek hingga ke tepian desa yang dimaksud. Di desanya sendiri yang sama sekali tak ada sarana transportasi juga belum terjangkau oleh penerangan listrik. Tak ada TV dan belum ada sambungan pesawat telpon maupun antene repeater untuk penggunaan hand phone. Ibunya minta pamannya yang adik kandung ibunya bersama Rudi tunangannya untuk menyempatkan diri meninjau langsung desa itu. Sepulang dari desa tersebut mereka menyatakan bahwa betapa berat medan yang akan dihadapi oleh Shinta nantinya. Mereka khawatir dan cemas pada Shinta yang rencananya pada bulan Haji nanti akan dinikahkan dengan Rudi. Shinta dan Rudi telah bertunangan selama hampir 2 tahun. Rudi sendiri adalah seorang insinyur pertanian yang telah bekerja di Dinas Pertanian Kabupaten. Tetapi semua kecemasan dan kekhawatiran orang tua dan tunangannya itu tidak terlampau ditanggapi oleh Shinta. Untuk lebih menghayati cerita selanjutnya, biarlah Shinta sendiri yang menceriterakan kisah yang dialaminya sebagaimana yang tertera di bawah ini.
Perjalanan itu hampir memakan waktu 1 jam. Mungkin hanya 10 menit kalau jalanannya macam jalan aspal di kota. Sampai di pintu desa nampak mereka yang menjemputku. Masih beberapa rumah dan kebon yang mesti kami lewati. Aku mendapatkan seorang perempuan yang sedang menggigil karena demam yang tinggi. Sesudah kuperiksa dia kuberi obat-obatan yang diperlukan. Kepada suami dan kerabatnya yang di rumah itu aku berkesempatan memberikan sedikit penerangan kesehatan. Aku sarankan banyak makan sayur dan buah-buahan yang banyak terdapat di desa itu. Bagaimana mencuci bakal makanan sehingga bersih dan sehat. Jangan terlalu asyik dengan ikan asin. Kalau berkesempatan buatlah kakus yang benar. Perhatikan kebersihan rumah dan sebagainya. Terkadang Pak Tanba ikut melengkapi omonganku. Dari sekian puluh kali dia mengantar aku, akhirnya dia juga menguasai ilmu populer yang sering kusiarkan pada penduduk itu.
Saat pulang, kilat dari langit makin sering dengan sesekali diiringi suara guntur. Jam tanganku menujukkan pukul 10.30 malam. Ah, hujan, nih. Pak Tanba mencoba mempercepat laju kendaraannya. Angin malam di pedesaan yang dingin terasa menerpa tubuhku.
Kira-kira setengah perjalanan kami rasakan hujan mulai jatuh. Lampu motor Pak Tanba menerangi titik-titik hujan yang seperti jarum-jarum berjatuhan. Aku lebih mempererat peganganku pada pinggulnya dan lebih menyandarkan kepalaku ke punggungnya untuk mencari kehangatan dan menghindarkan jatuhan titik-titik air ke wajahku.
Hujan memang tak kenal kompromi. Makin deras. Aku pengin ngomong ke Pak Tanba agar berteduh dulu, tetapi derasnya hujan membuat omonganku tak terdengar jelas olehnya. Dia terus melaju dan aku semakin erat memeluki pinggulnya. Tiba-tiba dia berhenti. Rupanya kami mendapatkan dangau beratap daun nipah yang sepi di tepi jalanan. Aku ingat, dangau tempat jualan milik orang desa sebelah. Kalau siang hari tempat ini dikunjungi orang yang mau beli peniti, sabun atau barang-barang kebutuhan lain yang bersifat kering. Ada ‘amben’ dari bambu yang tidak luas sekedar cukup untuk duduk berteduh. Pak Tanda lekas menyandarkan motornya kemudian lari kebawah atap nipah. Aku menyilahkannya duduk.
“Sini Pak, cukup ini buat berdua,”
Dan tanpa canggung dia mendekat ke aku dan sambil merangkulkan tangannya ke pundakku duduk di sampingku.
“Ibu kedinginan?”
“Iyalah, Pak..” sambil aku juga merangkul balik pinggangnya dengan rasa akrab.
Untuk beberapa saat kami hanya diam mendengarkan derasnya hujan yang mengguyur. Omongan apapun nggak akan terdengar. Suara hujan yang seperti dicurahkan dari langit mengalahkan suara-suara omongan kami. Beberapa kali aku menekan pelukanku ke tubuh Pak Tanba untuk lebih mendapatkan kehangatannya. Kepala dan wajahku semakin rebah menempel ke dadanya.
Aku nggak tahu bagaimana mulanya. Kudengar dengusan nafas Pak Tanba di telingaku dan tahu-tahu kurasakan mukanya telah nyungsep ke leherku. Aku diam. Aku pikir dia juga perlu kehangatan. Dan aku merasakan betapa damai pada saat-saat seperti ini ada Pak Tanba. Aku juga ingin membuat dia merasa senang di dekatku.
Tiba-tiba dia menggerakkan kecil wajahnya dan leherku merasakan bibirnya mengecupku. Aku juga diam. Aku sendiri sesungguhnya sedang sangat lelah. Ini jam-jam istirahatku. Kondisi rasio dan emosiku cenderung malas. Aku cenderung cuek dan membiarkan apa maunya. Aku nggak perlu mengkhawatirkan ulah Pak Tanba yang telah demikian banyak berkorban untukku. Dan aku sendiri yang semakin kedinginan karena pakaianku yang basah ditambahi oleh angin kencang malamnya yang sangat dingin merasakan bibir itu mendongkrak kehangatan dari dalam tubuhku. Bahkan kemudian aku juga tetap membiarkan ketika akhirnya kurasakan kecupan itu juga dilengkapi dengan sedotan bibirnya. Aku hanya sedikit menghindar.
“Aiihh..” desahku tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menghindar. Hingga kudengar.
“Bb.. Bu dokteerr..” desis bisik setengah samar-samar di tengahnya suara hujan yang semakin deras menembusi gendang telingaku.
“Buu..” kembali desis itu.
Dan aku hanya, “Hhmm..”
Aku nggak tahu mesti bagaimana. Aku secara tulus menyayangi Pak Tanba sebagai sahabat dan orang yang telah demikian banyak menolong aku. Aku menyayanginya juga karena adanya rasa ‘damai dan terlindungi’ saat dia berada di dekatku. Aku juga menyayanginya karena rasa hormatku pada seorang lelaki yang begitu ‘concern’ akan nilai tanggung jawabnya. Aku menyayangi Pak Tanba sebagai bentuk hormatku pada seorang manusia yang juga mampu menunjukkan rasa sayangnya pada sesama manusia lainnya.
Adakah aku juga menyayangi karena hal-hal lain dari Pak Tanba yang usianya mungkinlebih tua dari ayahku? Adakah aku sedang dirundung oleh rasa sepiku? Adakah aku merindukan belaian seorang ayah yang belum pernah kujumapi? Adakah aku merindukan belaian Rudi tunanganku? Sementara aku masih gamang dan mencari jawab, kecupan dan sedotan bibir dengan halus melata pelan ke atas menyentuhi kupingku yang langsung membuat darahku berdesir.
Jantungku tersentak dan kemudian berdenyut kencang. Tubuhku tersentak pula oleh denyut jantungku. Rasa dingin yang disebabkan angin malam dan pakaian basah di tubuhku langsung sirna. Kegamanganku menuntun tanganku untuk berusaha mencari pegangan. Dan pada saat yang bersamaan tangan kiri Pak Tanba mendekap tangan-tanganku kemudian tangan kanannya merangkul untuk kemudian menelusup ke bawah baju basahku. Dia meraba kemudian mencengkeramkan dengan lembut jari-jarinya pada buah dadaku.
Kemudian juga meremasinya pelan. Darahku melonjak dalam desiran tak tertahan. Jari-jari tangannya yang kasar itu menyentuh dan menggelitik puting susuku. Aku tak menduga atas apa yang Pak Tanba lakukan ini. Tetapi aku tak hendak menolak. Aku merasakan semacam nikmat. Aku menggelinjang berkat remasan tangan Pak Tanba pada susuku. Aku langsung disergap rasa dahaga yang amat sangat.
Dengan sedikit menggeliat aku mendesah halus sambil sedikit menarik leher dan menengadahkan mukaku. Sebuah sergapan hangat dan manis menjemput bibirku. Bibir Pak Tanba langsung melumat bibirku. Oocchh.. Apa yang telah terjadi.. Apa yang melandaku dalam sekejab ini.. Apa yang melemparkan aku dalam awang tanpa batas ini.. Dimana orbitku kini..
Seperti burung yang terjerat pukat, aku merasakan ada arus yang mengalir kuat dan menyeretku. Namun aku tak berusaha mencari selamat. Aku justru kehausan dan ingin lebih lumat larut dalam arus itu. Tanganku bergerak ke atas. Kuraih kepala Pak Tanba dan menarik menekan ke bibirku. Aku ingin dia benar-benar melumatku habis.
Aku mau dahagaku terkikis dengan lumantannya. Aku menghisap bibirnya. Kami saling melumat. Lidah Pak Tanba meruyak ke mulutku dan aku menyedotinya. Aku langsung kegerahan dalam hujan lebat dan dinginnya malam pedesaan itu. Tubuhku terasa mengeluarkan keringat. Mungkin pakaianku mengering karena panas tubuhku kini.
“Mmmhh..” desahnya.
“Mllmmhh..” desahku.
Aku tak tahu lagi apa yang berikutnya terjadi. Aku hanya merasa Pak Tanba merebahkan tubuhku ke ‘amben’ bambu itu sambil mulutnya terus melumati bibirku. Dan tanganku tak lepas dari pegangan di kepalanya untuk aku bisa lebih menekankannya ke bibirku. Desah dan rintih yang tertimpa bunyi derasnya hujan menjadi mantera dan sihir yang dengan cepat menggiring kami ketepian samudra birahi. Hasrat menggelora menggelitik saraf-saraf libidoku.
Kemudian kehangatan bibir itu melepas dari bibirku untuk melata. Pak Tanba sesaat melumat dan menggigit kecil bibir bawahku untuk kemudian turun melumati daguku. Aamppuunn.. Kenapa gairah ini demikian mengobarkan syahwatku.. Ayoo.. Terus Paakk.. Aku hauss.. Pak Tanbaa..
Leherku mengelinjang begitu bibir Pak Tanba menyeranginya. Kecupan demi kecupan dia lepaskan dan aku tak mampu menahan gejolak nafsuku. Aku beranikan menjerit di tengah hujan keras di atas dangau sepi dekat tepian desa ini.
“Ayyoo.. Paakk.. Aku hauss Pak Tanbaa.. “.
Aku menggelinjang kuat. Aku meronta ingin Pak Tanba merobek-robek nafsu birahiku. Aku ingin dia cepat menyambut dahagaku.
Tiba-tiba tangan Pak Tanba merenggut keras baju dokterku. Dia renggut pula blusku. Semua kancing-kancing bajuku putus terlepas. Pak Tanba menunjukkan kebuasan syahwat hewaniahnya. Duh.. Aku jadi begitu terbakar oleh hasrat nikmat birahiku. Aku merasakan seorang yang sangat jantan sedang berusaha merampas kelembutan keperempuananku. Dan aku harus selekasnya menyerah pada kejantanannya itu.
Dia ‘cokot’i buah dadaku. Dia emoti susu-susuku. Di gigit-gigit pentil-pentilku. Sambil tangannya mengelusi pinggulku, pantatku, pahaku. Ciuman-ciumannya terus menyergapi tubuhku. Dari dada turun ke perut dan turun lagi.. Turun lagi.. Aku benar-benar terlempar ke awang lepas. Aku memasuki kenikmatan dalam samudra penuh sensasi. Semua yang Pak Tanba lakukan pada tubuhku belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sama sekali tak mempertimbangkan adanya Rudi tunanganku itu.
Dan yang lebih-lebih menyiksaku kini adalah rasa gatal yang sangat di seputar kemaluanku. Tanpa mampu kuhindarkan tanganku sendiri berusaha menggaruk elus rasa gatal itu. Dengan sigap tanpa rasa malu aku lepasi celana dalamku sendiri. Kulemparkan ke tanah. Aku menekan-nekan bagian atas vaginaku untuk mengurangi kegatalan itu. Aku makin merasakan cairan birahiku meleleh luber keluar dari vaginaku.
Sensasi dari Pak Tanba terus mengalir. Kini bibirnya telah merasuk lebih kebawah. Dia mengecupi dan menjilat-jilat selangkanganku. Dan itu membuat aku menjadi sangat histeris. Kujambaki rambut Pak Tanba dalam upaya menahan kegatalan syahwatku. Pak Tanba rupanya tahu. Bibirnya langsung merambah kemaluanku. Bibirnya langsung melumat bibir vaginaku. Lidahnya menjilati cairan birahiku. Kudengar.. Ssluurrpp.. Sslluurrpp.. Saat menyedoti cairan itu. Bunyi itu terdengar sangat merangsang nafsuku.
Aku tak tahan lagi. Aku ibarat hewan korban persembahan Pak Tanba yang siap menerima tusukan tajam dari tombaknya. Kobaran birahiku menuntut agar persembahan cepat dilaksanakan. Aku tarik bahu Pak Tanba agar bangkit dan cepat menikamkan tombaknya padaku. Ayoolaahh.. Paakk..
Aku tak tahu kapan Pak Tanba melepasi pakaiannya. Bahkan aku juga tak sepenuhnya menyadari kenapa kini aku telah telanjang bulat. Pak Tanba memang lekas merespon kobaran nafsuku. Dia telah jauh pengalamannya. Apa yang aku lakukan mungkin sudah sering dia dapatkan dari istri-istrinya. Dengan sigap dia naik dan menindihku dalam keadaan telah telanjang. Dia benamkan wajahnya ke lembah ketiakku. Dia menjilati dan menyedotinya.
Sementara itu aku juga merasakan ada batang keras dan panas menekan pahaku. Tak memerlukan pengalaman untuk mengetahui bahwa itu adalah kemaluan Pak Tanba yang telah siap untuk menikam dan menembusi kemaluanku. Tetapi dia terhenti. Detik-detik penantianku seakan-akan bertahun-tahun. Dia berbisik dalam parau.
“Bu Dokter, ibu masih perawan?”
Aku sedikit tersentak atas bisikkannya itu. Yaa.. Aku memang masih perawan. Akankah aku serahkan ini kepada Pak Tanba? Bagaimana dengan Rudi nanti? Bagaimana dengan masa depanku? Bagaimana dengan risiko moralku? Bagaimana dengan karirku? Dalam sekejab aku harus mengambil sikap. Dengan sangat kilat aku mencoba berkilas balik.
Dalam posisi begini ternyata aku mampu berpikir jernih, walau sesaat. Kemudian aku kembali ke arus syahwat birahi yang menyeretku. Aku tidak menjawab dalam kata kepada Pak Tanba. Aku langsung menjemput bibirnya untuk melumatinya sambil sedikit merenggangkan pahaku. Aku rela menyerahkan keperawananku kepada Pak Tanba.
Ditengah derasnya hujan dan dinginnya pedesaan, diatas ‘amben’ bambu dan disaksikan dangau beratap daun nipah di tepi jalan tidak jauh dari pintu desaku Pak Tanba telah mengambil keperawananku. Aku tak menyesalinya. Hal itu sangat mungkin karena rasa relaku yang timbul setelah melihat bagaimana Pak Tanba tanpa menunjukkan pamrihnya membantu tugas-tugasku. Dan mungkin juga atas sikapnya yang demikian penuh perhatian padaku. Rasa ‘adem’ dan ‘terlindungi’ dari sosok dan perilaku Pak Tanba demikian menghanyutkan kesadaran emosi maupun rasioku hingga aku tak harus merasa kehilangan saat keperawananku di raihnya.
Sesaat setelah peristiwa itu terjadi Pak Tanba nge-’gelesot’ di rerumputan dangau itu sambil menangis di depan kakiku. Ini juga istimewa bagiku karena aku pikir orang seperti Pak Tanba tidak bisa menangis.
“Maafkan kekhilafan saya, Bu Dokter. Saya minta ampuunn..”
Tetapi aku cepat meraihnya untuk kembali duduk di ‘amben’. Bahkan aku merangkulinya. Bahkan sambil kemudian menjemput bibirnya dan kembali melumatinya aku katakan bahwa aku sama sekali rela atas apa yang Pak Tanba telah lakukan kepadaku. Malam itu sebelum beranjak pulang kami sekali lagi menjemput nikmat syahwat birahi. Tanpa kata-kata Pak Tanba menuntunku bagaimana supaya aku bisa meraih orgasmeku. Dia bimbing aku untuk menindih tubuhnya yang kekar itu. Dia tuntun kemaluannya untuk diarahkan ke kemaluanku. Kemudian dia dorong tarik sesaat sebelum aku berhasil melakukannya sendiri. Betapa sensasi syahwat langsung menyergapku. Aku mengayun pantat dan pinggulku seperti perempuan yang sedang mencuci di atas penggilesan. Hanya kali ini yang berayun bukan tanganku tetapi pantat dan pinggulku. Aku berhasil meraih orgasmeku secara beruntun menyertai saat-saat orgasme dan ejakulasinya Pak Tanba yang kurasakan pada kedutan-kedutan kemaluannya yang disertai dengan panasnya semprotan sperma kentalnya dalam liang sanggamaku.
Aneh, saat kami bersiap pulang langit mendadak jadi terang benderang. Bahkan bulan yang hampir purnama membagikan cahayanya mengenai pematang sawah di tepian jalan itu. Sebelum Pak Tanba menarik motornya dia sekali lagi meraih pinggangku dan kembali memagut bibirku kemudian.
“Bu Dokter maukah kamu menjadi istriku?,”
Aku tak menjawab dalam kata pula. Aku hanya mencubit lengannya yang dibalas Pak Tanba dengan ‘aduh’.
Dalam keremangan cahaya bulan kami memasuki desa tantanganku. Aku merenungi betapa desa ini telah memberiku banyak arti dalam hidupku. Dan pada dini pagi yang dingin itu kutetapkan hatiku. Aku akan mengabdi pada desa tantanganku ini. Aku akan jadi dokter desa dan tinggal bersama suamiku sebagai istri ke.4 Pak Tanba yang sangat baik itu.
Saat pamanku datang menjemput dan kebetulan tanpa disertai Rudi karena sedang bertugas di luar kotanya semuanya kuceritakan kepadanya. Kusampaikan bahwa dengan sepenuh kesadaranku aku telah menemukan jalan dan pilihanku. Aku akan mengabdi di desa tantanganku. Dan aku minta tolong untuk disampaikan kepada Rudi permohonan maafku yang telah mengecewakannya. Dan tentu saja kepada ibuku disamping restunya yang selalu aku perlukan.
Disamping itu dia juga sebagai pemanjat tebing yang handal dan juga beberapa kali telah mengikuti kegiatan arung jeram dengan menelusuri sungai-sungai ganas di seputar Sumatera. Sebagaimana dokter baru ia harus menjalani masa PTT pada sebuah desa yang jauh dari tempat tinggalnya. Reaksi orang tuanya dalam hal ini ibunya dan Rudi tunangannya adalah sangat keberatan saat mendengar bahwa dia harus bertugas di desa terpencil itu. Ibu Shinta sangat menyayangi Shinta. Beliaulah yang terus mendorong sekolah Shinta hingga lulus menjadi dokter. Orang tua Shinta cerai saat Shinta masih kecil. Sampai tamat dokter Shinta mengikuti ibunya. Shinta tak pernah kenal dan tahu bagaimana dan dimana ayahnya sekarang. Selain jauh dari kotanya daerah itu masih sangat terbelakang dan terisolir. Bayangkan, untuk mencapai daerah itu orang harus seharian naik bus antar kota, kemudian disambung dengan ojek hingga ke tepian desa yang dimaksud. Di desanya sendiri yang sama sekali tak ada sarana transportasi juga belum terjangkau oleh penerangan listrik. Tak ada TV dan belum ada sambungan pesawat telpon maupun antene repeater untuk penggunaan hand phone. Ibunya minta pamannya yang adik kandung ibunya bersama Rudi tunangannya untuk menyempatkan diri meninjau langsung desa itu. Sepulang dari desa tersebut mereka menyatakan bahwa betapa berat medan yang akan dihadapi oleh Shinta nantinya. Mereka khawatir dan cemas pada Shinta yang rencananya pada bulan Haji nanti akan dinikahkan dengan Rudi. Shinta dan Rudi telah bertunangan selama hampir 2 tahun. Rudi sendiri adalah seorang insinyur pertanian yang telah bekerja di Dinas Pertanian Kabupaten. Tetapi semua kecemasan dan kekhawatiran orang tua dan tunangannya itu tidak terlampau ditanggapi oleh Shinta. Untuk lebih menghayati cerita selanjutnya, biarlah Shinta sendiri yang menceriterakan kisah yang dialaminya sebagaimana yang tertera di bawah ini.
Perjalanan itu hampir memakan waktu 1 jam. Mungkin hanya 10 menit kalau jalanannya macam jalan aspal di kota. Sampai di pintu desa nampak mereka yang menjemputku. Masih beberapa rumah dan kebon yang mesti kami lewati. Aku mendapatkan seorang perempuan yang sedang menggigil karena demam yang tinggi. Sesudah kuperiksa dia kuberi obat-obatan yang diperlukan. Kepada suami dan kerabatnya yang di rumah itu aku berkesempatan memberikan sedikit penerangan kesehatan. Aku sarankan banyak makan sayur dan buah-buahan yang banyak terdapat di desa itu. Bagaimana mencuci bakal makanan sehingga bersih dan sehat. Jangan terlalu asyik dengan ikan asin. Kalau berkesempatan buatlah kakus yang benar. Perhatikan kebersihan rumah dan sebagainya. Terkadang Pak Tanba ikut melengkapi omonganku. Dari sekian puluh kali dia mengantar aku, akhirnya dia juga menguasai ilmu populer yang sering kusiarkan pada penduduk itu.
Saat pulang, kilat dari langit makin sering dengan sesekali diiringi suara guntur. Jam tanganku menujukkan pukul 10.30 malam. Ah, hujan, nih. Pak Tanba mencoba mempercepat laju kendaraannya. Angin malam di pedesaan yang dingin terasa menerpa tubuhku.
Kira-kira setengah perjalanan kami rasakan hujan mulai jatuh. Lampu motor Pak Tanba menerangi titik-titik hujan yang seperti jarum-jarum berjatuhan. Aku lebih mempererat peganganku pada pinggulnya dan lebih menyandarkan kepalaku ke punggungnya untuk mencari kehangatan dan menghindarkan jatuhan titik-titik air ke wajahku.
Hujan memang tak kenal kompromi. Makin deras. Aku pengin ngomong ke Pak Tanba agar berteduh dulu, tetapi derasnya hujan membuat omonganku tak terdengar jelas olehnya. Dia terus melaju dan aku semakin erat memeluki pinggulnya. Tiba-tiba dia berhenti. Rupanya kami mendapatkan dangau beratap daun nipah yang sepi di tepi jalanan. Aku ingat, dangau tempat jualan milik orang desa sebelah. Kalau siang hari tempat ini dikunjungi orang yang mau beli peniti, sabun atau barang-barang kebutuhan lain yang bersifat kering. Ada ‘amben’ dari bambu yang tidak luas sekedar cukup untuk duduk berteduh. Pak Tanda lekas menyandarkan motornya kemudian lari kebawah atap nipah. Aku menyilahkannya duduk.
“Sini Pak, cukup ini buat berdua,”
Dan tanpa canggung dia mendekat ke aku dan sambil merangkulkan tangannya ke pundakku duduk di sampingku.
“Ibu kedinginan?”
“Iyalah, Pak..” sambil aku juga merangkul balik pinggangnya dengan rasa akrab.
Untuk beberapa saat kami hanya diam mendengarkan derasnya hujan yang mengguyur. Omongan apapun nggak akan terdengar. Suara hujan yang seperti dicurahkan dari langit mengalahkan suara-suara omongan kami. Beberapa kali aku menekan pelukanku ke tubuh Pak Tanba untuk lebih mendapatkan kehangatannya. Kepala dan wajahku semakin rebah menempel ke dadanya.
Aku nggak tahu bagaimana mulanya. Kudengar dengusan nafas Pak Tanba di telingaku dan tahu-tahu kurasakan mukanya telah nyungsep ke leherku. Aku diam. Aku pikir dia juga perlu kehangatan. Dan aku merasakan betapa damai pada saat-saat seperti ini ada Pak Tanba. Aku juga ingin membuat dia merasa senang di dekatku.
Tiba-tiba dia menggerakkan kecil wajahnya dan leherku merasakan bibirnya mengecupku. Aku juga diam. Aku sendiri sesungguhnya sedang sangat lelah. Ini jam-jam istirahatku. Kondisi rasio dan emosiku cenderung malas. Aku cenderung cuek dan membiarkan apa maunya. Aku nggak perlu mengkhawatirkan ulah Pak Tanba yang telah demikian banyak berkorban untukku. Dan aku sendiri yang semakin kedinginan karena pakaianku yang basah ditambahi oleh angin kencang malamnya yang sangat dingin merasakan bibir itu mendongkrak kehangatan dari dalam tubuhku. Bahkan kemudian aku juga tetap membiarkan ketika akhirnya kurasakan kecupan itu juga dilengkapi dengan sedotan bibirnya. Aku hanya sedikit menghindar.
“Aiihh..” desahku tanpa upaya sungguh-sungguh untuk menghindar. Hingga kudengar.
“Bb.. Bu dokteerr..” desis bisik setengah samar-samar di tengahnya suara hujan yang semakin deras menembusi gendang telingaku.
“Buu..” kembali desis itu.
Dan aku hanya, “Hhmm..”
Aku nggak tahu mesti bagaimana. Aku secara tulus menyayangi Pak Tanba sebagai sahabat dan orang yang telah demikian banyak menolong aku. Aku menyayanginya juga karena adanya rasa ‘damai dan terlindungi’ saat dia berada di dekatku. Aku juga menyayanginya karena rasa hormatku pada seorang lelaki yang begitu ‘concern’ akan nilai tanggung jawabnya. Aku menyayangi Pak Tanba sebagai bentuk hormatku pada seorang manusia yang juga mampu menunjukkan rasa sayangnya pada sesama manusia lainnya.
Adakah aku juga menyayangi karena hal-hal lain dari Pak Tanba yang usianya mungkinlebih tua dari ayahku? Adakah aku sedang dirundung oleh rasa sepiku? Adakah aku merindukan belaian seorang ayah yang belum pernah kujumapi? Adakah aku merindukan belaian Rudi tunanganku? Sementara aku masih gamang dan mencari jawab, kecupan dan sedotan bibir dengan halus melata pelan ke atas menyentuhi kupingku yang langsung membuat darahku berdesir.
Jantungku tersentak dan kemudian berdenyut kencang. Tubuhku tersentak pula oleh denyut jantungku. Rasa dingin yang disebabkan angin malam dan pakaian basah di tubuhku langsung sirna. Kegamanganku menuntun tanganku untuk berusaha mencari pegangan. Dan pada saat yang bersamaan tangan kiri Pak Tanba mendekap tangan-tanganku kemudian tangan kanannya merangkul untuk kemudian menelusup ke bawah baju basahku. Dia meraba kemudian mencengkeramkan dengan lembut jari-jarinya pada buah dadaku.
Kemudian juga meremasinya pelan. Darahku melonjak dalam desiran tak tertahan. Jari-jari tangannya yang kasar itu menyentuh dan menggelitik puting susuku. Aku tak menduga atas apa yang Pak Tanba lakukan ini. Tetapi aku tak hendak menolak. Aku merasakan semacam nikmat. Aku menggelinjang berkat remasan tangan Pak Tanba pada susuku. Aku langsung disergap rasa dahaga yang amat sangat.
Dengan sedikit menggeliat aku mendesah halus sambil sedikit menarik leher dan menengadahkan mukaku. Sebuah sergapan hangat dan manis menjemput bibirku. Bibir Pak Tanba langsung melumat bibirku. Oocchh.. Apa yang telah terjadi.. Apa yang melandaku dalam sekejab ini.. Apa yang melemparkan aku dalam awang tanpa batas ini.. Dimana orbitku kini..
Seperti burung yang terjerat pukat, aku merasakan ada arus yang mengalir kuat dan menyeretku. Namun aku tak berusaha mencari selamat. Aku justru kehausan dan ingin lebih lumat larut dalam arus itu. Tanganku bergerak ke atas. Kuraih kepala Pak Tanba dan menarik menekan ke bibirku. Aku ingin dia benar-benar melumatku habis.
Aku mau dahagaku terkikis dengan lumantannya. Aku menghisap bibirnya. Kami saling melumat. Lidah Pak Tanba meruyak ke mulutku dan aku menyedotinya. Aku langsung kegerahan dalam hujan lebat dan dinginnya malam pedesaan itu. Tubuhku terasa mengeluarkan keringat. Mungkin pakaianku mengering karena panas tubuhku kini.
“Mmmhh..” desahnya.
“Mllmmhh..” desahku.
Aku tak tahu lagi apa yang berikutnya terjadi. Aku hanya merasa Pak Tanba merebahkan tubuhku ke ‘amben’ bambu itu sambil mulutnya terus melumati bibirku. Dan tanganku tak lepas dari pegangan di kepalanya untuk aku bisa lebih menekankannya ke bibirku. Desah dan rintih yang tertimpa bunyi derasnya hujan menjadi mantera dan sihir yang dengan cepat menggiring kami ketepian samudra birahi. Hasrat menggelora menggelitik saraf-saraf libidoku.
Kemudian kehangatan bibir itu melepas dari bibirku untuk melata. Pak Tanba sesaat melumat dan menggigit kecil bibir bawahku untuk kemudian turun melumati daguku. Aamppuunn.. Kenapa gairah ini demikian mengobarkan syahwatku.. Ayoo.. Terus Paakk.. Aku hauss.. Pak Tanbaa..
Leherku mengelinjang begitu bibir Pak Tanba menyeranginya. Kecupan demi kecupan dia lepaskan dan aku tak mampu menahan gejolak nafsuku. Aku beranikan menjerit di tengah hujan keras di atas dangau sepi dekat tepian desa ini.
“Ayyoo.. Paakk.. Aku hauss Pak Tanbaa.. “.
Aku menggelinjang kuat. Aku meronta ingin Pak Tanba merobek-robek nafsu birahiku. Aku ingin dia cepat menyambut dahagaku.
Tiba-tiba tangan Pak Tanba merenggut keras baju dokterku. Dia renggut pula blusku. Semua kancing-kancing bajuku putus terlepas. Pak Tanba menunjukkan kebuasan syahwat hewaniahnya. Duh.. Aku jadi begitu terbakar oleh hasrat nikmat birahiku. Aku merasakan seorang yang sangat jantan sedang berusaha merampas kelembutan keperempuananku. Dan aku harus selekasnya menyerah pada kejantanannya itu.
Dia ‘cokot’i buah dadaku. Dia emoti susu-susuku. Di gigit-gigit pentil-pentilku. Sambil tangannya mengelusi pinggulku, pantatku, pahaku. Ciuman-ciumannya terus menyergapi tubuhku. Dari dada turun ke perut dan turun lagi.. Turun lagi.. Aku benar-benar terlempar ke awang lepas. Aku memasuki kenikmatan dalam samudra penuh sensasi. Semua yang Pak Tanba lakukan pada tubuhku belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku sama sekali tak mempertimbangkan adanya Rudi tunanganku itu.
Dan yang lebih-lebih menyiksaku kini adalah rasa gatal yang sangat di seputar kemaluanku. Tanpa mampu kuhindarkan tanganku sendiri berusaha menggaruk elus rasa gatal itu. Dengan sigap tanpa rasa malu aku lepasi celana dalamku sendiri. Kulemparkan ke tanah. Aku menekan-nekan bagian atas vaginaku untuk mengurangi kegatalan itu. Aku makin merasakan cairan birahiku meleleh luber keluar dari vaginaku.
Sensasi dari Pak Tanba terus mengalir. Kini bibirnya telah merasuk lebih kebawah. Dia mengecupi dan menjilat-jilat selangkanganku. Dan itu membuat aku menjadi sangat histeris. Kujambaki rambut Pak Tanba dalam upaya menahan kegatalan syahwatku. Pak Tanba rupanya tahu. Bibirnya langsung merambah kemaluanku. Bibirnya langsung melumat bibir vaginaku. Lidahnya menjilati cairan birahiku. Kudengar.. Ssluurrpp.. Sslluurrpp.. Saat menyedoti cairan itu. Bunyi itu terdengar sangat merangsang nafsuku.
Aku tak tahan lagi. Aku ibarat hewan korban persembahan Pak Tanba yang siap menerima tusukan tajam dari tombaknya. Kobaran birahiku menuntut agar persembahan cepat dilaksanakan. Aku tarik bahu Pak Tanba agar bangkit dan cepat menikamkan tombaknya padaku. Ayoolaahh.. Paakk..
Aku tak tahu kapan Pak Tanba melepasi pakaiannya. Bahkan aku juga tak sepenuhnya menyadari kenapa kini aku telah telanjang bulat. Pak Tanba memang lekas merespon kobaran nafsuku. Dia telah jauh pengalamannya. Apa yang aku lakukan mungkin sudah sering dia dapatkan dari istri-istrinya. Dengan sigap dia naik dan menindihku dalam keadaan telah telanjang. Dia benamkan wajahnya ke lembah ketiakku. Dia menjilati dan menyedotinya.
Sementara itu aku juga merasakan ada batang keras dan panas menekan pahaku. Tak memerlukan pengalaman untuk mengetahui bahwa itu adalah kemaluan Pak Tanba yang telah siap untuk menikam dan menembusi kemaluanku. Tetapi dia terhenti. Detik-detik penantianku seakan-akan bertahun-tahun. Dia berbisik dalam parau.
“Bu Dokter, ibu masih perawan?”
Aku sedikit tersentak atas bisikkannya itu. Yaa.. Aku memang masih perawan. Akankah aku serahkan ini kepada Pak Tanba? Bagaimana dengan Rudi nanti? Bagaimana dengan masa depanku? Bagaimana dengan risiko moralku? Bagaimana dengan karirku? Dalam sekejab aku harus mengambil sikap. Dengan sangat kilat aku mencoba berkilas balik.
Dalam posisi begini ternyata aku mampu berpikir jernih, walau sesaat. Kemudian aku kembali ke arus syahwat birahi yang menyeretku. Aku tidak menjawab dalam kata kepada Pak Tanba. Aku langsung menjemput bibirnya untuk melumatinya sambil sedikit merenggangkan pahaku. Aku rela menyerahkan keperawananku kepada Pak Tanba.
Ditengah derasnya hujan dan dinginnya pedesaan, diatas ‘amben’ bambu dan disaksikan dangau beratap daun nipah di tepi jalan tidak jauh dari pintu desaku Pak Tanba telah mengambil keperawananku. Aku tak menyesalinya. Hal itu sangat mungkin karena rasa relaku yang timbul setelah melihat bagaimana Pak Tanba tanpa menunjukkan pamrihnya membantu tugas-tugasku. Dan mungkin juga atas sikapnya yang demikian penuh perhatian padaku. Rasa ‘adem’ dan ‘terlindungi’ dari sosok dan perilaku Pak Tanba demikian menghanyutkan kesadaran emosi maupun rasioku hingga aku tak harus merasa kehilangan saat keperawananku di raihnya.
Sesaat setelah peristiwa itu terjadi Pak Tanba nge-’gelesot’ di rerumputan dangau itu sambil menangis di depan kakiku. Ini juga istimewa bagiku karena aku pikir orang seperti Pak Tanba tidak bisa menangis.
“Maafkan kekhilafan saya, Bu Dokter. Saya minta ampuunn..”
Tetapi aku cepat meraihnya untuk kembali duduk di ‘amben’. Bahkan aku merangkulinya. Bahkan sambil kemudian menjemput bibirnya dan kembali melumatinya aku katakan bahwa aku sama sekali rela atas apa yang Pak Tanba telah lakukan kepadaku. Malam itu sebelum beranjak pulang kami sekali lagi menjemput nikmat syahwat birahi. Tanpa kata-kata Pak Tanba menuntunku bagaimana supaya aku bisa meraih orgasmeku. Dia bimbing aku untuk menindih tubuhnya yang kekar itu. Dia tuntun kemaluannya untuk diarahkan ke kemaluanku. Kemudian dia dorong tarik sesaat sebelum aku berhasil melakukannya sendiri. Betapa sensasi syahwat langsung menyergapku. Aku mengayun pantat dan pinggulku seperti perempuan yang sedang mencuci di atas penggilesan. Hanya kali ini yang berayun bukan tanganku tetapi pantat dan pinggulku. Aku berhasil meraih orgasmeku secara beruntun menyertai saat-saat orgasme dan ejakulasinya Pak Tanba yang kurasakan pada kedutan-kedutan kemaluannya yang disertai dengan panasnya semprotan sperma kentalnya dalam liang sanggamaku.
Aneh, saat kami bersiap pulang langit mendadak jadi terang benderang. Bahkan bulan yang hampir purnama membagikan cahayanya mengenai pematang sawah di tepian jalan itu. Sebelum Pak Tanba menarik motornya dia sekali lagi meraih pinggangku dan kembali memagut bibirku kemudian.
“Bu Dokter maukah kamu menjadi istriku?,”
Aku tak menjawab dalam kata pula. Aku hanya mencubit lengannya yang dibalas Pak Tanba dengan ‘aduh’.
Dalam keremangan cahaya bulan kami memasuki desa tantanganku. Aku merenungi betapa desa ini telah memberiku banyak arti dalam hidupku. Dan pada dini pagi yang dingin itu kutetapkan hatiku. Aku akan mengabdi pada desa tantanganku ini. Aku akan jadi dokter desa dan tinggal bersama suamiku sebagai istri ke.4 Pak Tanba yang sangat baik itu.
Saat pamanku datang menjemput dan kebetulan tanpa disertai Rudi karena sedang bertugas di luar kotanya semuanya kuceritakan kepadanya. Kusampaikan bahwa dengan sepenuh kesadaranku aku telah menemukan jalan dan pilihanku. Aku akan mengabdi di desa tantanganku. Dan aku minta tolong untuk disampaikan kepada Rudi permohonan maafku yang telah mengecewakannya. Dan tentu saja kepada ibuku disamping restunya yang selalu aku perlukan.
Sekian Cerita Jorok - Cerita Sex Dewasa Asik - Kisah Mesum Dokter Shinta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar